There's a clear distinction between a dream or an ambition and a reality.
Here we are, at the opposite side of the world, far from family and friends (and all those delicious tasty cheap crappy food I adore) in the name of pursuing our dream. That's the thing that comes with marriage, there's (almost) no I nor me, they're not gone, they just becoming a we and us.
Anyway, R is in the middle of preparing his thesis short film. He's been playing with this idea for quite sometime now and then come the early draft of the script.
The scripts are definitely more than decent. It's not a masterpiece (yet) but it's more than okay for a thesis. I always have this vision in my head about his short thesis. That vision is the one that my mind automatically adapt from a very wonderful film we saw few years ago. For weeks while discussing this short project, I'd play the reference film visually in my head. That's until a few nights ago, when I saw the casting video.
Suddenly those characters have breath, those names, have faces and I'm beginning to see what R might see in the first place while he developed this short in the first place.
Well, this is of course a very natural thing, no big deal. But the realization of it hit me in such a way, that I feel I should make a remark about it. I'm beginning to see this short project as something entirely different from what I always have. It's exciting, even when i don't play that big a part in the physical project of it.
And as much as I want to always remember why we are here, sometimes I got sidetracked too. I'm beginning to feel too comfortable with all of the things happenings around me in this wonderful city and my focus blurred a little bit but this, this definitely brings me back to focus. Could this really be our golden ticket? I can only do my part as best as I can and the rest... Well the rest is really up to The Divine power.
Saturday, May 23, 2009
Tuesday, May 19, 2009
Phew!!
Entah benar entah tidak, semakin bertambah tua kita,semakin pula waktu berlalu dengan cepat.Di penghujung usia kepala dua ini, waktu seakan terbang melayang. Mata berkedip sepersekian detik saja, tiba-tiba matahari sudah tenggelam diujung horison.
Saat saya masih remaja (masih lucu, dan lugu), seringkali saya melayangkan pandangan ke arah langit biru dan bertanya-tanya bagaimana rasanya memandang langit dari belahan dunia yang berbeda.
Sudah delapan bulan lebih saya memandang langit dari belahan dunia yang sama sekali berbeda dari Jakarta, Indonesia.Saat saya masih remaja (masih lucu, dan lugu), seringkali saya melayangkan pandangan ke arah langit biru dan bertanya-tanya bagaimana rasanya memandang langit dari belahan dunia yang berbeda.
New York, New York.
The city that never sleep, karena meskipun di tengah-tengah "jam tanggung" yang sudah lewat tengah malam, namun belum juga pagi, 42nd Street, Time Square, masih juga macet.
Banyak hal yang saya alami di kota ini, indah, manis, gila dan mendebarkan. Tapi semuanya membuat saya menjadi manusia yang sedikit lebih dewasa, sedikit lebih bijak dan sedikit lebih obyektif memandang semuanya. orang bilang kehidupan adalah proses belajar yang tidak pernah berakhir. Semoga orang-orang itu benar, karena dengan mengalami semua yang saya alami di New York ini (betapapun menyebalkannya), saya jadi punya persepektif yang lebih baik dan lebih benar tentang hal-hal apa saja yang benar-benar penting dalam kehidupan ini.
Sunday, June 22, 2008
Hulk. Incredible
weekend? Movies! That has been my indulgence for the past 4 years. I get to the point where there are no more new films to see at the cinema and being so nervous about it, I asked my husband "What other movie could we watch now?" in every 15 minutes or so. Lucky for me, he's a movie maniac (and folks, it's contagious!).
So, last Sunday we watched Hulk 2, played by the talented Mr. Norton. Rumor has it, he cowrote the film and even has his own 200 or so minutes cut, that was naturally not use on the official cinema release (*sob*).
Not only both main character Bruce Banner (Ed Norton) and Betty Ross (Liv Tyler) mutual affection, pictured so romantically understated but the action and suspense didn't disappoint
either. See, I looooove romantic films, but when it comes to action hero kinda films, I prefer to have it straight-full throttle-non stop-action all the way, than half hearted drama and cheesy romance as I saw in "The Transformer". But The Hulk, manage balance it nicely. The flashback at the beginning is not redundant (for me who happened to glue my eyes on the TV some 15 years ago for its series) but enough to give insights for those who haven't known the story behind it (like a really old man sitting next to me, exhaling long breath every 10 mins).
General Ross (William Hurt) is also very convincing as the distant father as well as the arch enemy. Although all the Brazilian ambush, helicopter actions and Harlem war arena were all Hollywoodesque, still didn't lessen the whole films. If I could make a wish then maybe I wish the Abomination character background (Tim Roth) could be more exposed. Oh and the other mad scientist "Mr. Blue" could be less chirpy.
All in all, the film scored 3.5 out of 5 stars in my list. The same score with The Ironman, only I like The Ironman better. Just because the character of Tony Stark is more complicated and interesting for me.
Now, Edward Norton.
He's just amazing! Not big built but so intense. First I noticed him in "Fightclub". He's awsome! When he played in supposedly-epic-but-flop-film "The Kingdom of Heaven" he blew all other actors! (sorry Orly, I used to really really really like you). And he played as the-leprosy-dying-MASKED-king! I mean, I didn't even see his face and yet I can still fill all of his emotion and desire through that dying voice of him. That my friend, is what I call an achievement. All in all, what I can say is, Edward Norton, my kind of man ;)
Tuesday, June 10, 2008
Suatu malam di Malioboro
Seingat saya, terakhir kali ke Jogja saya baru berusia 10 tahun, dan demam tinggi, jadi memori tentang Jogja tidak pernah benar-benar terekam di dalam sel-sel kelabu saya. Sekitar empat tahun yang lalu saya mendapat seorang partner kerja asli dari Jogja dan seperti hampir semua orang Jogja yang saya kenal, sangat membanggakan ke-Jogja-annya dan Sri Sultan yang bijaksana. Karena setiap hari saya bekerja dan bertukar kisah hidup dengan partner saya ini, keinginan untuk ke Jogja, mengalami sambil memotret keseharian orang Jogja (dengan EOS 400D digital SLR) pun mulai tumbuh.
Akhirnya, Tuhan mendengar harapan rahasia saya dan minggu kemarin, saya ke Jogja dengan judul bekerja, yang untungnya bersama dengan beberapa rekan kerja, diantaranya teman saya wong Jogja itu. Meskipun kamera digital SLR masih belum saya miliki, semangat saya tetap sama besarnya.
Malam itu sudah pukul 23.30 WIB. Sementara saya mengantri kamar mandi sambil berganti saluran TV kabel yang sama sekali tidak menarik, teman saya mengajak melihat Tugu Jogja yang terletak 100 langkah kurang dari hotel tempat kami menginap. Jadi sambil mengenakan sandal hotel yang super tipis dan kedodoran, saya menuju Tugu, ditemani pemandu dadakan.
Di Tugu yang berbinar cantik diterangi lampu sorot kuning, banyak kelompok ABG yang berfoto dengan serunya. Hal pertama yang langsung ada di pikiran saya adalah, betapa sepinya jalanan lebar di tengah kota itu. Udara begitu segar, langit cerah meski tak berbintang, kami pun memutuskan untuk berjalan menyusuri Malioboro. Para tukang becak dengan senyum yang ramah menawarkan jasanya yang kami tolak dengan senyum yang ramah pula. Disana-sini masih ada beberapa orang yang bermain catur atau nongkrong di warung-warung lesehan. Seorang bapak tua yang berpakaian rapi namun lusuh terlihat duduk di emper toko, hati saya tersentuh, dimana negara yang seharusnya membela hak manusia setua itu? di mana keluarganya? di mana anak-anaknya? apa dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi? bagaimana kisah hidupnya?
Kami barusaja melewati rel kereta dan ditengah bincang-jalan santai kami, saya mencium aroma pesing yang luar biasa menyengat. tiba-tiba seorang laki-laki melewati kami dan "buang hajat kecil" di pagar hijau yang
membatasi jalur
becak-dokar, dengan kendaraan bermotor.
Malam yang sangat gelap dan arah jalan kami menyelamatkan saya dari kemungkinan trauma akan pemandangan yang sungguh tidak perlu dilihat.
Teman saya pun tersenyum, "Sayangnya orang sini itu kok ya katrok, masih belum bisa menghilangkan kebiasaan pipis sembarangan." Topik pipis sembarangan ini pun jadi subjek pembicaraan kami, karena saya pun menyayangkan tata kota yang begitu rapi meski tidak sebersih Singapura harus diwarnai dengan parfum buatan yang pesing.
Trotoar makin melebar karena sudah tidak ada lagi yang berjualan di emper toko, kami melewati istana presiden yang sungguh megah dan luas, tidak mewah, tapi majestik, salah satu dari sedikit bukti kecintaan Bung Karno pada estetika yang masih tersisa. Kami menyusuri jalan yang di sebut oleh orang Jogja sebagai "air mancur" meskipun tidak ada air mancur. Disana saya melihat plakat-plakat kuningan yang tertanam di bundaran-bundaran penghijauan yang sudah dalam kondisi setengah hancur, dan parfum jalanan yang juga tidak surut. Sementara teman seperjalanan saya sibuk memotret, rasa keingintahuan yang besar membuat saya mendekati plakat-plakat itu dan mencari tahu apa sebenarnya yang ada di sana. Ternyata plakat-plakat tersebut berisi telapak tangan dan kaki pemimpin-pemimpin bangsa dan kalimat petuah yang mereka ingin sampaikan pada rakyat nya. Ada pesan Sri Sultan yang saya ingat sepenggal "Kota kita tidak perlu... kota kita hanya perlu dicintai..."
Banyak plakat kosong tersedia untuk para presiden RI yang tidak terisi, meskipun dalam waktu 10 tahun ini Indonesia telah berganti 4 presiden. Lantai pinggir jalan itu terbuat dari potongan marmer besar yang sudah dalam kondisi mengenaskan. Gedung-gedung kolonial yang tersorot lampu kuning yang cantik menjadi latar belakang barisan bundaran-bundaran plakat tersebut. Saya teringat Paris, seharusnya tempat itu bisa memiliki kecantikan dan estetika yang bisa bersaing dengan Paris, tapi siapa yang mau mengusahakan dan menjaganya?
Tempat itu sungguh ramai, puluhan ABG bercanda, bermain mata dan tidur disana. Berbaur dengan bapak-bapak yang tidur atau berusaha berjualan dengan wajah lelah. Saya pun bertanya kepada teman saya. Apakah mereka tidak ke sekolah besok? Dimana orang tua mereka? Apa orang tua mereka tahu mereka ada di sini? Para ABG itu berpenampilan trendi, dan sama sekali jauh dari kata kampungan, tapi apakah kita bisa berharap mereka kelak akan memiliki kesadaran dan kecintaan terhadap kota mereka, terhadap kebudayaan dan cara hidup ala Indonesia?
Saya menyapukan pandangan sekali lagi ke sekeliling tempat itu dan saya benar-benar bisa merasakan harapan besar yang ada di benak si pencetus ide dan pembuat tempat yang sarat dengan sejarah tersebut. Mau tidak mau saya bertanya dalam hati, bagaimana kira-kira perasaan mereka saat melihat mimpi mereka akan tempat ini sekarang menjadi seperti ini.
Mata saya sudah berair, malam sudah menjelang subuh, kami memutuskan untuk kembali dengan bantuan pak becak yang baru saja menyelesaikan sebungkus nasi. Di sebuah emperan toko, saya melihat bapak tua yang kami lewati tadi sudah berbaring, mencari mimpi di malam kota Jogja yang dingin. Entah apa kisah hidupnya, entah apa yang sudah menunggunya besok.
Saya kembali ke hotel dengan pengalaman baru, mandi di bawah guyuran air panas dan tidur diatas kasur yang empuk, di ruangan ber AC. Sungguh ironis. Tidak ada yang bisa saya lakukan tentang bapak tua di emper toko itu, tapi saya yakin pengalaman ini akan berguna di kemudian hari, entah bagi saya, entah bagi orang lain.
Memang sudah layak dan sepantasnyalah saya mensyukuri semua yang diijinkan Tuhan terjadi dalam kehidupan saya, termasuk masih memiliki empati meskipun tinggal di ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri dimana kejahatan yang terjadi setiap hari membuat manusia menaruh curiga terhadap manusia lain, bahkan untuk menolong seorang nenek tua renta sekalipun, karena seorang nenek tua renta bisa menjadi otak dan pelaku kejahatan.
Banyak yang saya pelajari dari perjalanan saya ke Jogja yang memperkaya pengalaman dan kepribadian saya sebagai seorang manusia.
Dalam hati saya berjanji, "Jogja, suatu hari nanti, saya akan kembali lagi."
Selamat datang ke dunia
pertanyaan yang cukup sering saya terima dari teman adalah "apakah kamu punya blog?" dan saya selalu menjawab "tidak." Saya pikir, sepertinya mempublikasikan pemikiran pribadi dan apa yang saya rasakan itu nggak gue banget gitu lho.
Hey! Diablo Cody yang memenangkan Oscar dengan debut naskahnya Juno, memulai dengan rajin-rajin menulis blog.
Bukan, saya bukannya bercita-cita memenangkan Oscar dengan blog, tapi siapa tahu dengan menulis di blog, saya bisa menambah wawasan, teman dan jadi lebih rajin lagi menulis ;)
Jadi, saya ingin menghadiahi diri sendiri dengan memberi ucapan Selamat datang ke dunia blogger!
Subscribe to:
Posts (Atom)