Tuesday, June 10, 2008

Suatu malam di Malioboro


Seingat saya, terakhir kali ke Jogja saya baru berusia 10 tahun, dan demam tinggi, jadi memori tentang Jogja tidak pernah benar-benar terekam di dalam sel-sel kelabu saya. Sekitar empat tahun yang lalu saya mendapat seorang partner kerja asli dari Jogja dan seperti hampir semua orang Jogja yang saya kenal, sangat membanggakan ke-Jogja-annya dan Sri Sultan yang bijaksana. Karena setiap hari saya bekerja dan bertukar kisah hidup dengan partner saya ini, keinginan untuk ke Jogja, mengalami sambil memotret keseharian orang Jogja (dengan EOS 400D digital SLR) pun mulai tumbuh.
Akhirnya, Tuhan mendengar harapan rahasia saya dan minggu kemarin, saya ke Jogja dengan judul bekerja, yang untungnya bersama dengan beberapa rekan kerja, diantaranya teman saya  wong Jogja itu. Meskipun kamera digital SLR masih belum saya miliki, semangat saya tetap sama besarnya.

Malam itu sudah pukul 23.30 WIB. Sementara saya mengantri kamar mandi sambil berganti saluran TV kabel yang sama sekali tidak menarik, teman saya mengajak melihat Tugu Jogja yang terletak 100 langkah kurang dari hotel tempat kami menginap. Jadi sambil mengenakan sandal hotel yang super tipis dan kedodoran, saya menuju Tugu, ditemani pemandu dadakan.

Di Tugu yang berbinar cantik diterangi lampu sorot kuning, banyak kelompok ABG yang berfoto dengan serunya. Hal pertama yang langsung ada di pikiran saya adalah, betapa sepinya jalanan lebar di tengah kota itu. Udara begitu segar, langit cerah meski tak berbintang, kami pun memutuskan untuk berjalan menyusuri Malioboro. Para tukang becak dengan senyum yang ramah menawarkan jasanya yang kami tolak dengan senyum yang ramah pula. Disana-sini masih ada beberapa orang yang bermain catur atau nongkrong di warung-warung lesehan. Seorang bapak tua yang berpakaian rapi namun lusuh terlihat duduk di emper toko, hati saya tersentuh, dimana negara yang seharusnya membela hak manusia setua itu? di mana keluarganya? di mana anak-anaknya? apa dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi? bagaimana kisah hidupnya?


Kami barusaja melewati rel kereta dan ditengah bincang-jalan santai kami, saya mencium aroma pesing yang luar biasa menyengat. tiba-tiba seorang laki-laki melewati kami dan "buang hajat kecil" di pagar hijau yang 
membatasi jalur 
becak-dokar, dengan kendaraan bermotor.
Malam yang sangat gelap dan arah jalan kami menyelamatkan saya dari kemungkinan trauma akan pemandangan yang sungguh tidak perlu dilihat.
Teman saya pun tersenyum, "Sayangnya orang sini itu kok ya katrok, masih belum bisa menghilangkan kebiasaan pipis sembarangan." Topik pipis sembarangan ini pun jadi subjek pembicaraan kami, karena saya pun menyayangkan tata kota yang begitu rapi meski tidak sebersih Singapura harus diwarnai dengan parfum buatan yang pesing.
Trotoar makin melebar karena sudah tidak ada lagi yang berjualan di emper toko, kami melewati istana presiden yang sungguh megah dan luas, tidak mewah, tapi majestik, salah satu dari sedikit bukti kecintaan Bung Karno pada estetika yang masih tersisa. Kami menyusuri jalan yang di sebut oleh orang Jogja sebagai "air mancur" meskipun tidak ada air mancur. Disana saya melihat plakat-plakat kuningan yang tertanam di bundaran-bundaran penghijauan yang sudah dalam kondisi setengah hancur, dan parfum jalanan yang juga tidak surut. Sementara teman seperjalanan saya sibuk memotret, rasa keingintahuan yang besar membuat saya mendekati plakat-plakat itu dan mencari tahu apa sebenarnya yang ada di sana. Ternyata plakat-plakat tersebut berisi telapak tangan dan kaki pemimpin-pemimpin bangsa dan kalimat petuah yang mereka ingin sampaikan pada rakyat nya. Ada pesan Sri Sultan yang saya ingat sepenggal "Kota kita tidak perlu... kota kita hanya perlu dicintai..."
Banyak plakat kosong tersedia untuk para presiden RI yang tidak terisi, meskipun dalam waktu 10 tahun ini Indonesia telah berganti 4 presiden. Lantai pinggir jalan itu terbuat dari potongan marmer besar yang sudah dalam kondisi mengenaskan. Gedung-gedung kolonial yang tersorot lampu kuning yang cantik menjadi latar belakang barisan bundaran-bundaran plakat tersebut. Saya teringat Paris, seharusnya tempat itu bisa memiliki kecantikan dan estetika yang bisa bersaing dengan Paris, tapi siapa yang mau mengusahakan dan menjaganya?
Tempat itu sungguh ramai, puluhan ABG bercanda, bermain mata dan tidur disana. Berbaur dengan bapak-bapak yang tidur atau berusaha berjualan dengan wajah lelah. Saya pun bertanya kepada teman saya. Apakah mereka tidak ke sekolah besok? Dimana orang tua mereka? Apa orang tua mereka tahu mereka ada di sini? Para ABG itu berpenampilan trendi, dan sama sekali jauh dari kata kampungan, tapi apakah kita bisa berharap mereka kelak akan memiliki kesadaran dan kecintaan terhadap kota mereka, terhadap kebudayaan dan cara hidup ala Indonesia?
Saya menyapukan pandangan sekali lagi ke sekeliling tempat itu dan saya benar-benar bisa merasakan harapan besar yang ada di benak si pencetus ide dan pembuat tempat yang sarat dengan sejarah tersebut. Mau tidak mau saya bertanya dalam hati, bagaimana kira-kira perasaan mereka saat melihat mimpi mereka akan tempat ini sekarang menjadi seperti ini.
Mata saya sudah berair, malam sudah menjelang subuh, kami memutuskan untuk kembali dengan bantuan pak becak yang baru saja menyelesaikan sebungkus nasi. Di sebuah emperan toko, saya melihat bapak tua yang kami lewati tadi sudah berbaring, mencari mimpi di malam kota Jogja yang dingin. Entah apa kisah hidupnya, entah apa yang sudah menunggunya besok.
Saya kembali ke hotel dengan pengalaman baru, mandi di bawah guyuran air panas dan tidur diatas kasur yang empuk, di ruangan ber AC. Sungguh ironis. Tidak ada yang bisa saya lakukan tentang bapak tua di emper toko itu, tapi saya yakin pengalaman ini akan berguna di kemudian hari, entah bagi saya, entah bagi orang lain.
Memang sudah layak dan sepantasnyalah saya mensyukuri semua yang diijinkan Tuhan terjadi dalam kehidupan saya, termasuk masih memiliki empati meskipun tinggal di ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri dimana kejahatan yang terjadi setiap hari membuat manusia menaruh curiga terhadap manusia lain, bahkan untuk menolong seorang nenek tua renta sekalipun, karena seorang nenek tua renta bisa menjadi otak dan pelaku kejahatan.

Banyak yang saya pelajari dari perjalanan saya ke Jogja yang memperkaya pengalaman dan kepribadian saya sebagai seorang manusia.
Dalam hati saya berjanji, "Jogja, suatu hari nanti, saya akan kembali lagi."

1 comment:

tonifreiza said...

gak nyangka ye, sementara kita blagu2an sok akrab sama calon klien, eeh lo malah punya kenangan yang uiiiindaaah buaangeett kayak gini, hehehehe...

kapan lagi kau undang kami, holciiiiiimm...

(eh gw nulis ini di komputer lo, soalnya gw lg males bawa si 17 inci itu, berat boo...)